Bullying antara guru dengan guru sering terjadi dalam bentuk pelecehan verbal, pengucilan sosial, dan diskriminasi dalam pembagian tugas atau wewenang. Guru senior terkadang merasa lebih berkuasa dan meremehkan guru yang lebih muda atau guru baru. Bentuk lain adalah sikap tidak kooperatif dalam bekerja sama, menyebarkan gosip profesional. Praktik semacam ini menimbulkan ketegangan dalam hubungan kerja, menghambat kolaborasi, dan merusak keharmonisan tim pengajar. Guru yang menjadi korban sering mengalami tekanan mental, kehilangan motivasi mengajar, bahkan bisa mengalami gangguan kesehatan. Hal ini pada akhirnya akan berpengaruh pada kualitas pengajaran yang diberikan kepada siswa. Oleh karena itu, interaksi antar guru harus dijaga dengan semangat profesionalisme dan saling menghargai.
Sementara itu, bullying yang dilakukan guru kepada murid dapat berbentuk intimidasi, penghinaan di depan kelas, pemberian hukuman fisik atau psikologis yang berlebihan, serta perlakuan tidak adil. Sebagian guru menggunakan dalih mendisiplinkan siswa untuk membenarkan tindakan yang sebenarnya merupakan bentuk kekerasan verbal atau emosional. Praktik semacam ini dapat mengganggu perkembangan psikologis siswa, menurunkan rasa percaya diri, dan memicu trauma jangka panjang. Siswa yang sering menjadi korban bullying guru akan cenderung menarik diri dari lingkungan sekolah, mengalami penurunan prestasi, atau bahkan membenci proses belajar. Guru seharusnya menjadi figur yang membimbing, bukan menakut-nakuti. Maka, penting bagi guru untuk membangun komunikasi yang empatik dan pendekatan yang humanis dalam mendidik.
Kasus bullying oleh siswa terhadap guru juga mulai marak, terutama di era digital saat ini. Murid bisa melakukan perundungan secara verbal di kelas, menyebarkan rumor atau konten digital yang merendahkan guru, hingga tidak menghormati otoritas guru dalam pembelajaran. Hal ini menjadi tantangan besar bagi dunia pendidikan karena mencerminkan pergeseran nilai dalam hubungan antara peserta didik dan pendidik. Guru yang menjadi korban perundungan siswa dapat merasa direndahkan, kehilangan kendali kelas, dan enggan untuk melanjutkan pengajaran. Terlebih, jika tindakan tersebut tidak ditanggapi serius oleh pihak sekolah atau orang tua siswa, maka situasi ini akan menjadi preseden buruk bagi disiplin dan etika pendidikan. Oleh karena itu, perlu adanya penguatan nilai-nilai penghormatan terhadap guru melalui pendekatan kultural dan institusional.
Dampak jangka panjang dari praktik bullying dalam hubungan antar warga sekolah sangat merusak atmosfer belajar yang sehat. Iklim sekolah yang seharusnya kondusif, inklusif, dan mendukung perkembangan peserta didik, berubah menjadi penuh kecemasan, konflik, dan ketidaknyamanan. Jika bullying dibiarkan tanpa penanganan serius, maka akan menciptakan siklus kekerasan yang terus berulang. Budaya bullying bisa merambah ke semua aspek kehidupan sekolah, mulai dari interaksi harian, proses belajar mengajar, hingga pengambilan kebijakan. Akibatnya, mutu pendidikan secara keseluruhan akan menurun, dan sekolah kehilangan fungsinya sebagai institusi pembentukan karakter dan pengetahuan. Oleh karena itu, penting untuk membangun budaya anti-bullying di sekolah yang melibatkan semua unsur pendidikan.
Salah satu solusi utama untuk mengatasi bullying antar guru adalah melalui penguatan etika profesi dan pelatihan komunikasi antarpribadi. Guru perlu dibekali dengan keterampilan sosial dan emosional agar mampu membangun hubungan kerja yang sehat. Kepala sekolah sebagai pemimpin lembaga harus tegas menegakkan aturan dan menyelesaikan konflik secara adil dan transparan. Forum-forum diskusi antarguru yang bersifat reflektif dan solutif perlu dibentuk untuk membangun rasa saling percaya. Supervisi berkala juga penting dilakukan untuk memastikan tidak ada praktik diskriminatif di antara guru. Dengan pendekatan ini, lingkungan kerja guru menjadi lebih profesional, sehat, dan produktif. Guru sebagai agen perubahan harus mampu menciptakan lingkungan yang bebas dari kekerasan.
Untuk mencegah bullying guru terhadap siswa, sekolah perlu menetapkan kode etik pengajaran yang tegas dan berorientasi pada hak-hak siswa. Guru harus diberikan pelatihan tentang pendekatan pedagogis yang ramah anak, serta kemampuan mengelola kelas dengan cara non-represif. Evaluasi berkala terhadap metode dan perilaku guru di kelas penting dilakukan melalui sistem feedback dari siswa secara anonim. Selain itu, sekolah juga perlu menyediakan saluran pengaduan yang aman dan terpercaya bagi siswa untuk melaporkan tindakan tidak etis dari guru. Dengan begitu, siswa tidak merasa takut untuk bersuara dan perlindungan terhadap hak-haknya menjadi nyata. Guru yang terbukti melakukan perundungan harus dikenai sanksi pembinaan yang proporsional dan edukatif.
Dalam kasus murid membully guru, pendekatan solutif tidak cukup hanya dengan hukuman. Sekolah perlu membangun sistem pendidikan karakter yang menekankan pentingnya rasa hormat, empati, dan tanggung jawab. Orang tua juga harus dilibatkan secara aktif dalam membentuk perilaku anak di rumah. Program mentoring antara siswa dan guru yang bersifat dialogis bisa menjadi solusi untuk menciptakan kedekatan emosional dan rasa saling menghargai. Selain itu, pemanfaatan teknologi untuk memantau dan mencegah penyebaran konten merugikan terhadap guru harus dikelola secara etis. Sekolah juga dapat menyusun regulasi digital yang melindungi semua warga sekolah dari perundungan daring. Dengan cara ini, relasi guru-murid bisa dibangun atas dasar saling menghormati dan kerja sama.
Lebih jauh lagi, semua pihak di lingkungan sekolah harus terlibat dalam membangun budaya sekolah yang anti-bullying. Kepala sekolah, guru, siswa, orang tua, bahkan tenaga kependidikan harus memiliki pemahaman yang sama mengenai dampak negatif bullying dan cara menanggulanginya. Pendidikan karakter harus dimasukkan secara eksplisit dalam kurikulum, termasuk melalui kegiatan ekstrakurikuler yang membangun solidaritas dan empati. Penelitian tindakan sekolah juga bisa dilakukan untuk memetakan pola dan dampak bullying yang terjadi agar intervensinya lebih tepat sasaran. Evaluasi budaya sekolah secara berkala penting agar perbaikan terus dilakukan. Budaya positif hanya bisa dibangun jika semua elemen sekolah bekerja secara kolaboratif.
Kesimpulannya, bullying dalam dunia pendidikan adalah persoalan serius yang dapat merusak struktur dan fungsi pendidikan itu sendiri. Praktik perundungan antara guru, guru kepada murid, maupun murid kepada guru, semuanya menimbulkan dampak psikologis dan profesional yang berbahaya. Diperlukan pendekatan sistematis, mulai dari regulasi, pelatihan, pengawasan, hingga pemberdayaan semua pihak untuk mencegah dan mengatasi bullying. Sekolah tidak cukup hanya menjadi tempat transfer ilmu, tetapi juga laboratorium sosial yang membentuk kepribadian mulia dan relasi yang sehat. Pendidikan yang bebas dari bullying adalah kunci untuk mencetak generasi yang cerdas secara intelektual dan emosional. Saatnya seluruh elemen pendidikan bersatu untuk menghapus bullying dari ruang-ruang sekolah.