Dalam konteks pendidikan, konflik sering muncul akibat perbedaan persepsi, nilai, atau pelanggaran aturan yang terjadi di lingkungan sekolah. Namun, tidak semua pelanggaran dilakukan secara sadar oleh peserta didik. Dalam perspektif Pendidikan Islam Multikultural, pendekatan terhadap konflik harus mempertimbangkan keadilan sosial, empati terhadap latar belakang individu, serta penghormatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Islam mengajarkan prinsip ishlah (perdamaian), adil (keadilan), dan rahmah (kasih sayang) dalam menyelesaikan konflik (QS. Al-Hujurat: 10). Pendekatan multikultural menuntut adanya pengakuan dan penghargaan terhadap perbedaan latar sosial, budaya, dan pengalaman traumatis peserta didik. Oleh karena itu, penting bagi lembaga pendidikan untuk memiliki sistem penyelesaian konflik yang adaptif terhadap kasus-kasus kompleks, seperti ketika seorang siswi menjadi korban kekerasan seksual dan menghadapi stigma akibat kehamilan di luar nikah.
Studi kasus ini mengangkat pengalaman seorang siswi di seolah X yang mengalami kehamilan di luar nikah karena pemerkosaan. seorang siswi tidak boleh hamil saat masih bersekolah. siswi ini mengalami trauma berat, kehilangan semangat hidup, dan membutuhkan waktu pemulihan fisik dan psikologis setelah menjadi korban kekerasan seksual. Sayangnya, tidak semua guru memahami latar belakang tersebut. Beberapa bahkan menunjukkan sikap menghakimi, menyalahkan, dan menyebarkan asumsi negatif yang membuat siswi tersebut semakin tertekan. Ini menunjukkan bahwa tanpa pendekatan berbasis mediasi dan empati, sistem pendidikan bisa berubah menjadi instrumen kekerasan struktural yang tidak berpihak pada korban.
Dalam kerangka mediasi pendidikan Islam multikultural, penyelesaian konflik seperti ini harus melibatkan berbagai pihak, termasuk kepala sekolah, guru BK, orang tua, tokoh agama, dan konselor psikologis. Tujuan mediasi bukanlah untuk mencari siapa yang salah, melainkan untuk memahami akar persoalan dan merumuskan jalan keluar yang manusiawi dan solutif. Islam mengajarkan bahwa dalam situasi konflik, terlebih terhadap korban kekerasan, pendekatan yang digunakan harus berdasarkan kasih sayang dan perlindungan (QS. An-Nisa: 75). Dalam konteks multikultural, sekolah harus menjadi ruang yang aman bagi siswa dari semua latar belakang untuk dipahami, bukan dihakimi. Proses mediasi sebaiknya mempertemukan semua pihak dalam suasana yang kondusif, membuka ruang komunikasi tanpa tekanan, dan memberikan kesempatan pada korban untuk menyuarakan kondisi yang sebenarnya.
Guru dan pihak sekolah perlu memahami bahwa korban kekerasan seksual tidak boleh disalahkan atas kondisi yang menimpanya. Dalam Islam, prinsip keadilan tidak hanya berarti pemberian sanksi terhadap pelanggaran, tetapi juga memastikan bahwa tidak ada korban yang diperlakukan tidak adil karena ketidaktahuan atau stigma masyarakat (al-Ghazali, 2005). Dalam kasus ini, sekolah yang tidak sensitif terhadap kondisi korban bisa memperburuk trauma dan menghambat masa depan peserta didik. Pendidikan Islam multikultural menekankan bahwa setiap anak memiliki hak atas perlindungan, pendidikan, dan pengembangan potensi, apapun latar belakang dan kondisi sosialnya. Oleh karena itu, aturan kedisiplinan harus fleksibel dan mempertimbangkan aspek psikologis, spiritual, serta trauma yang dialami korban. Guru harus menjadi pelindung bukan penghukum, dan sekolah menjadi rumah aman bagi anak-anak.
Hasil dari mediasi yang tepat dapat membawa perubahan positif dalam dinamika sekolah. Dalam kasus ini, sekolah akhirnya memberikan dispensasi khusus terhadap siswi tersebut, mengizinkannya melanjutkan pendidikan dengan bimbingan psikososial dan pendampingan khusus. Guru yang sebelumnya bersikap menghakimi diberi pelatihan tentang pendekatan trauma-informed education dan etika profesi. Selain itu, sekolah mulai mengembangkan kebijakan internal tentang perlindungan terhadap siswa yang menjadi korban kekerasan seksual atau sosial. Pendekatan ini sejalan dengan maqasid syariah yang menekankan perlindungan jiwa (hifz al-nafs), akal (hifz al-‘aql), dan kehormatan (hifz al-‘ird). Mediasi berbasis Islam dan multikultural terbukti mampu membangun keadilan yang substansial dan membuka ruang penyembuhan bagi korban.
Kesimpulannya, mediasi dan resolusi konflik dalam perspektif pendidikan Islam multikultural bukan hanya sebuah mekanisme penyelesaian masalah, melainkan bagian dari proses pendidikan itu sendiri. Pendekatan ini menanamkan nilai-nilai kemanusiaan, penghormatan terhadap keragaman, dan pengakuan terhadap trauma yang dialami korban. Kasus siswi korban pemerkosaan dan kehamilan di luar nikah menjadi cermin penting bahwa sistem pendidikan harus mampu beradaptasi secara moral dan struktural terhadap realitas yang kompleks. Pendidikan Islam mengajarkan bahwa setiap individu berhak dihargai dan dilindungi. Maka dari itu, mediasi harus diarahkan untuk mewujudkan keadilan transformatif, bukan sekadar keadilan prosedural. Saatnya sekolah membangun kebijakan inklusif yang menempatkan empati dan perlindungan anak sebagai fondasi utamanya.
⸻
Referensi
Al-Ghazali. (2005). Ihya’ Ulumuddin (Vol. 4). Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
Departemen Agama RI. (2006). Al-Qur’an dan Terjemahannya. Jakarta: Departemen Agama Republik Indonesia.
Hidayat, A. (2017). Pendidikan Multikultural dalam Perspektif Islam. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Moesa, M. (2020). Mediasi dalam Pendidikan Islam: Studi Implementasi di Lembaga Pendidikan Islam. Jurnal Pendidikan Islam, 9(2), 134–150. https://doi.org/10.21093/jpi.v9i2.2581
Sulaiman, M. (2021). Trauma-Informed Education: Relevansi dalam Pendidikan Islam. Jurnal Pendidikan dan Konseling Islam, 5(1), 67–80. https://doi.org/10.21580/jpki.v5i1.7591